BeritaDunia

Ledakan di Pangkalan Militer Guinea Ekuatorial, 15 Tewas dan 400 Luka

Redaksi Utama
08/03/2021, 09:40 WIB
Last Updated 2021-03-16T15:50:49Z

BATA - Serangkaian ledakan besar mengguncang sebuah pangkalan militer

di Kota Bata, Guinea Ekuatorial, pada Minggu (7/3) kemarin. Ledakan

ini menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai 500 lainnya.



Dikutip dari Antara, Presiden Teodoro Obiang Nguema menyatakan ledakan

itu merupakan akibat dari kelalaian penggunaan dinamit. Melalui

pernyataan yang disiarkan di televisi nasional, Obiang meminta

dukungan internasional dalam upaya pemulihan dari tragedi itu.



"Saya menyatakan dukungan saya kepada orang-orang yang terkena dampak," katanya.



Stasiun televisi TVGE memperlihatkan tim-tim di lapangan sedang

menarik orang-orang dari tumpukan puing. Beberapa orang diangkut dalam

keadaan terbungkus seprai. Seorang pejabat kesehatan sebelumnya

mengatakan kepada TVGE bahwa korban tewas berjumlah sedikitnya 20

orang.



Truk-truk yang dipenuhi korban selamat, termasuk anak-anak, melaju ke

sebuah rumah sakit setempat.



Di dalam rumah sakit, bangsal-bangsal penuh dengan orang-orang yang

cedera. Banyak di antaranya yang berlumuran darah. Beberapa orang

terbaring di lantai atau meja, menunggu untuk ditangani.



TVGE mengimbau masyarakat untuk mendonorkan darah. Saluran televisi

tersebut juga melaporkan bahwa rumah-rumah sakit di negara Afrika

Tengah itu sudah penuh.



Di daerah ledakan, atap besi rumah-rumah roboh dan teronggok di antara

puing-puing. Di sebagian besar rumah, hanya satu atau dua dinding yang

masih berdiri. Tak lama setelah rentetan ledakan muncul, orang-orang

berlarian ke segala arah –banyak di antaranya dalam keadaan bingung

dan sambil berteriak.



Ledakan ini terjadi ketika Guinea Ekuatorial, negara penghasil minyak,

belakangan ini didera guncangan ekonomi ganda. Guncangan tersebut

merupakan akibat dari pandemi virus corona serta penurunan harga

minyak mentah yang merupakan sektor yang menyumbang sekitar tiga

perempat pendapatan negara.



Negara bekas koloni Spanyol itu sudah dipimpin Obiang, pemimpin

terlama di Afrika, sejak 1979 –melalui kudeta militer berdarah. Kudeta

itu juga menggulingkan pamannya, yang kemudian dieksekusi.



Kalangan pengkritik menyoroti keadaan bahwa Obiang dan keluarganya

menikmati kekayaan mewah sementara mayoritas penduduk hidup dalam

kemiskinan.



"Kami dengan keprihatinan mengikuti perkembangan di Guinea Ekuatorial

pascaledakan di kota Bata," kata Menteri Luar Negeri Spanyol Arancha

Gonzalez Laya di Twitter.



Kedutaan Besar Spanyol di Malabo meminta para warga negara Spanyol

agar tinggal di rumah mereka.