Berita

Ditolaknya LP Kerumunan Pak Jokowi Di NTT Bentuk Equality Before The Law

Redaksi Utama
03/03/2021, 16:40 WIB
Last Updated 2021-03-16T15:50:54Z

MEDAN - Pakar hukum Dr Alpi Sahari SH MHum, Rabu (3/3) mengatakan tidak diterimanya laporan oleh Bareskrim Polri atas peristiwa kerumunan massa di NTT merupakan bentuk equality before the law.

"Memaknai equality before the law tidak semudah membalikkan telapak tangan sehingga pemaknaan yang salah sering digunakan untuk menjustifikasi bahwa kepentingan individu, kelompok dan organisasi yang tidak diakomodir oleh bekerjanya hukum di dalam suatu sistem sebagai bentuk pengabaian dari equality before the law sebagaimana diatur dalam landasan konstitusi," ujarnya menanggapi wacana tentang kerumunan yang menyambut Presiden Jokowi di NTT.

Menurutnya, pemaknaan equality before the law harus berada pada tatanan objektivitas dan demi kepentingan hukum dalam arti untuk mendapatkan dan memperoleh keadilan bagi pencari keadilan harus dilakukan berdasarkan ketentuan norma hukum dalam pengertian melalui suatu proses menurut tata cara yang telah diatur dan ditetapkan oleh hukum.

Dr Alpi menyatakan bahwa kebijakan Bareskrim Polri untuk tidak menerima laporan atas dugaan terjadinya kerumunaan massa di NTT pada saat kunjungan kerja Presiden tentunya didasarkan pada kepentingan hukum menurut tata cara yang telah diatur dan ditetapkan oleh hukum.

"Laporan dimaksud ditujukan kepada presiden pada saat melakukan kunjungan kerja terjadi kerumunan massa sehingga beberapa kalangan berpendapat harus diproses dengan berlandaskan pada pemaknaan equality before the law," ujarnya.

Dia menegaskan bahwa perlu untuk dimengerti bahwa di dalam hukum pidana terkait tata cara yang telah diatur dan ditetapkan oleh hukum bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan pada prinsip nemo punitur sine injuria, facto, seu defalta.

"Artinya tidak ada seorang pun yang dihukum kecuali ia telah berbuat salah. Kesalahan dalam peristiwa terjadinya kerumunan massa untuk memproses sebagai suatu peristiwa pidana didasarkan pada konsep pertanggungjawaban pidana dalam arti naturalijkpersoon bukan rechtspersoon," jelasnya.

Konsep naturalijkpersoon, tambahnya lagi, didasarkan pada prinsip delinquere non postest sedangkan rechtspersoon didasarkan pada prinsip functionele dader.

"Presiden di dalam melaksanakan kunjungan kerja di NTT tidak dapat dimaknai sebagai naturalijkpersoon sehingga tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas terjadinya kerumunan massa," ungkapnya.

Diuraikan, KUH Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi secara tegas memisahkan antara naturalijkpersoon dengan rechtspersoon sebagai syarat untuk terpenuhinya unsur de strafbaarheid van het feit atau het verboden zjir van het feit maupun unsur strafbaarheid van den persoon.

Dapat dilihat dalam beberapa kasus kerumunan massa di masa pandemi Covid-19 misalnya kerumunan massa pada saat penjemputan Habib Rizieq di Cengkareng tidak dilakukan proses hukum sebagai orang yang bertanggungjawaban telah melakukan pengumpulan massa di masa pandemi Covid-19.

"Hal ini berbeda pada saat Habib Rizieq diproses hukum karena telah mengundang pada acara perkawinan, acara Maulid dan acara di Mega Medung serta sudah ada teguran dan himbauan dari Gugus Tugas maupun wali kota, namun tidak dihiraukan sehingga terjadi kerumunan massa di masa pandemi Covid-19. Tidak diterimanya laporan atas dugaan terjadinya kerumunan massa di masa pandemi Covid-19 oleh Bareskrim Polri merupakan wujud profesionalisme Polri sebagai garda terdepan penegakan hukum yang secara tepat memaknai equality before the law sehingga transformasi menuju Polri yang PRESISI telah terwujud dalam proses penegakan hukum," katanya.